Selasa, 20 Maret 2012

"CARA BERPIKIR BARU" Mengakibatkan Perubahan Besar

  • Dulu, akû pernah sangat KAGUM pada manusia yang cerdas, sangat kaya, berhasil dalam karir hidup & hebat dalam dunianya. Sekarang, aku memilih untuk mengganti kriteria kekagumanku, akû kagum pada manusia yang BERKENAN ϑî mata TUHAN, Manusia yang TAAT & SETIA dalam melayani TUHAN, sekalipun kadang penampilannya begitu biasa & bersahaja.
  •  Dulu, akû memilih MARAH karena merasa harga diriku direndahkan ketika Órang lain berlaku kasar kepadaku, menggunjingku ϑan menyakitiku dengan kalimat² sindiran.Sekarang, akû memilih untuk BERSYUKUR & BERTERIMAKASIH karena ku yakin åϑà KASIH ýg datang dari mereka ketika akû mampu untuk MEMAAFKAN & BERSABAR.

  • Dulu, akû memilih MENGEJAR harta dan kekuasaan dunia & MENUMPUKNYA sebisaku... Ternyata akû sadari kebutuhanku hanyalah makan & minum untuk hari ini & bagaimana cara membuangnya ϑr perutku.Sekarang, akû memilih untuk BERSYUKUR ϑğ apa ýg ada & memikirkan bagaimana akû bisa mengisi waktuku hari ini, ϑğ penuh KASIH & BERMANFAAT buat sesama.

  • Dulu, akû berpikir bahwa akû bisa MEMBAHAGIAKAN orangtua, saudara & teman²ku kalau akû BERHASIL ϑğ duniaku..... Ternyata ýg membuat kebanyakan ϑarï mereka bahagia adalăh bukan î†ů melainkan SIKAP, TINGKAH & KARAKTERku terhadap mereka. Sekarang, akû memilih untuk membuat mereka bahagia ϑğ apa ýg ada padaku.

  • Dulu, pusat pikiranku ăϑălăђ membuat RENCANA² dahsyat untuk duniaku.Ternyata akû menjumpai teman & saudara-saudaraku begitu cepat pulang menghadap kepada-NYA.Sekarang, ýg menjadi pusat pikiran ϑan rencanaku ăϑălăђ bagaimana mempersiapkan HATI ϑan BERJAGA-JAGA agar akû selalu SIAP jika suatu saat namaku dipanggil pulang olehNYA.

  • Tak ada ýg dapat menjamin bhw segala kebaikan yg kulakukan dpt membuatku selamat.
  • Tak adà ýg dapat memberikan jaminan bhw akû masih bisa menghirup nafas esok hari.
  • Kalau hari ini ϑan esok hari akû masih hidup, itů semata krn Anugerah TUHAN bagi hidupku

Senin, 19 Maret 2012

LAKAL HAMDU BY : HADAD ALWI


BERJUMPA DENGAN TUHAN


Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka. Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.

Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segalanya.

Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di dalam mimpi Beliau.

Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga berbeda.

Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.

Tuhan Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan?

Tuhan tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia. Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu. Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?

Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa, hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.

Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah. Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu Tinggi.

Nabi bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya. Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.

Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.

Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.

Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

Minggu, 18 Maret 2012

ALAM SEMESTA ADALAH GURU BIJAK


Tatkala seorang preman pasar adalah Semprul namanya, mendekati akhir masa hidupnya, seseorang bertanya kepadanya, ” Semprul, siapakah gurumu?”
Dia menjawab, “Aku memiliki banyak guru. Menyebut nama mereka satu-persatu akan memakan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun dan sudah tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya. Tetapi ada tiga orang guru yang akan aku ceritakan kepadamu.

Pertama adalah seorang pencuri.
Suatu saat aku tersesat di gurun pasir, dan ketika aku tiba di suatu desa, karena larut malam maka semua tempat telah tutup. Tetapi akhirnya aku menemukan seorang pemuda yang sedang melubangi dinding pada sebuah rumah. Aku bertanya kepadanya dimana aku bisa menginap dan dia berkata “Adalah sulit untuk mencarinya pada larut malam seperti ini, tetapi engkau bisa menginap bersamaku, jika engkau bisa menginap bersama seorang pencuri.”
Sungguh menakjubkan pemuda ini. Aku menetap bersamanya selama satu bulan! Dan setiap malam ia akan berkata kepadaku, “Sekarang aku akan pergi bekerja. Engkau beristirahatlah dan berdoa.” Ketika dia telah kembali aku bertanya “apakah engkau mendapatkan sesuatu?” dia menjawab, “Tidak malam ini. Tetapi besok aku akan mencobanya kembali, jika Tuhan berkehendak.” Dia tidak pernah patah semangat, dia selalu bahagia.
Ketika aku berkhalwat (mengasingkan diri) selama bertahun-tahun dan di akhir waktu tidak terjadi apapun, begitu banyak masa dimana aku begitu putus asa, begitu patah semangat, hingga akhirnya aku berniat untuk menghentikan semua omong kosong ini. Dan tiba-tiba aku teringat akan si pencuri yang selalu berkata pada malam hari. “Jika Tuhan berkehendak, besok akan terjadi.”

Guruku yang kedua adalah seekor anjing.
Tatkala aku pergi ke sungai karena haus, seekor anjing mendekatiku dan ia juga kehausan. Pada saat ia melihat ke airnya dan ia melihat ada ajing lainnya disana “bayangannya sendiri”, dan ia pun ketakutan. Anjing itu kemudian menggonggong dan berlari menjauh. Tetapi karena begitu haus ia kembali lagi. Akhirnya, terlepas dari rasa takutnya, ia langsung melompat ke airnya, dan hilanglah bayangannya. Dan pada saat itulah aku menyadari sebuah pesan datang dari Tuhan: ketakutanmu hanyalah bayangan, ceburkan dirimu ke dalamnya dan bayangan rasa takutmu akan hilang.

Guruku yang ketiga adalah seorang anak kecil.
Tatkala aku memasuki sebuah kota dan aku melihat seorang anak kecil membawa sebatang liling yang menyala. Dia sedang menuju mesjid untuk meletakkan lilinnya disana.
“Sekedar bercanda”, kataku kepadanya, “Apakah engkau sendiri yang menyalakan lilinnya?” Dia menjawab, “Ya tuan.” Kemudian aku bertanya kembali, “Ada suatu waktu dimana lilinnya belum menyala, lalu ada suatu waktu dimana lilinnya menyala. Bisakah engkau tunjukkan kepadaku darimana datangnya sumber cahaya pada lilinnya?
Anak kecil itu tertawa, lalu menghembuskan lilinnya, dan berkata, “Sekarang tuan telah melihat cahayanya pergi. Kemana ia perginya? Jelaskan kepadaku!”
EGOKU REMUK REDAM…, seketika itu, seluruh pengetahuanku BUYAAAAR…!!.
Pada saat itu aku menyadari KEBODOHANKU sendiri dan sejak saat itu aku letakkan, aku tanggalkan seluruh ilmu pengetahuanku.
Adalah benar bahwa aku tidak memiliki guru Spiritual. Tetapi bukan berarti bahwa aku bukanlah seorang murid, aku menerima semua kehidupan sebagai guruku. Pembelajaranku sebagai seorang murid jauh lebih besar dibandingkan dengan dirimu. Aku mempercayai awan-awan, pohon-pohon, kehidupan binatang. Seperti itulah aku belajar dari kehidupan. Aku tidak memiliki seorang guru Spiritual karena aku memiliki jutaan guru yang aku pelajari dari berbagai sumber sedari kecil.
Menjadi seorang murid adalah hal umum di jalan sufi. Apa maksud dari menjadi seorang murid? Maksud dari menjadi seorang murid adalah untuk belajar. Bersedia belajar atas apa yang diajarkan oleh ” KEHIDUPAN “. Melalui seorang guru engkau akan memulai pembelajaranmu menapaki hari melalui CITA RASA mu sendiri untuk menjadi ” DIRI SENDIRI ” bukan menjadi seperti orang lain bahkan menjadi seperti gurumu.

Sang guru adalah sebuah kolam dimana engkau bisa belajar bagaimana untuk berenang. Dan tatkala engkau telah mahir berenang, seluruh Samudera adalah milikmu. Dan pada saat itulah engkau adalah MURID sekaligus GURU bagi dirimu sendiri dalam kehidupan ini.

NGURIP URIPI AGEMING ADJI ( AGAMA )


Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelayut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.

( Dia yang sudah mengetahui jalan, menghayati tanda-tanda kebijaksanaan, menjangkau inti pribadi, telah bisa menyaksikan secara nyata, yang menghalangi telah menyingkir, benar-benar memasuki alam sunyi, terlihatlah segala keadaan, terlihat tanpa batas, itulah yang dinamakan bertemu dengan jejak Tuhan )

Mengkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben dina rikala mangsa, mangsah amamasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susilo anoraga, wignya men tyasing sasami, yeku aran wong barek berag agama.

( Seperti itulah manusia utama, senang tenggelam dalam kesunyian, setiap hari ketika dia menemukan kesempatan, mempertajam dan membersihkan jiwa, setia menjalankan peran sebagai kesatria, bertindak baik, rendah hati, pandai bergaul dan membuat hati orang terpikat, itulah yang disebut orang-orang yang menghayati agama )

Agama adalah “ ageming aji “, pegangan yang baik...ajaran yang harus dipegang dengan kukuh dan dihayati agar muncul kebaikan. Agama ibarat obor..ia dipegang…dijadikan penerang, agar kehidupan kita di muka bumi ini tetap berada di jalan setapak kebenaran, tidak terperosok apalagi tersesat, dan ujungnya…kita bisa kembali kepada asal muasal sekaligus tujuan akhir kita, sangkan paraning dumadi, Dialah Hyang Tunggal, Hyang Wisesa, yang disebut manusia dengan berbagai nama: Allah, God, Elli, dan semacamnya.

Berbicara tentang kebaikan, kita mesti berbicara tentang kebaikan pada tiga dimensi: dimensi pribadi, dimensi sosial, dan dimensi semesta. Beragama yang baik, indikatornya adalah ketika ketiga dimensi yang melingkupi hidup kita itu selalu dalam keadaan baik. Baik pada dimensi pribadi, adalah bahwa kita menemukan kebahagiaan sejati, kita bisa merasakan kedamaian yang tak bercampur dengan kegelisahan, kita masuk ke dalam alam keselamatan yang tak lagi dikotori musibah. Sementara baik pada dimensi sosial, maknya kita dipersepsi baik oleh orang di sekitar kita, karena kita selalu memberikan kebahagiaan, ketenangan, rasa aman, dan keselamatan kepada mereka. Dan terakhir, baik pada dimensi semesta…kita, sebagai jagad alit, menjadi selaras dengan jagad ageng. Kita bisa merasa terhubung dengan tanah, udara, air, api…kita bisa merasa satu dengan tetumbuhan, hewan, matahari, bulan, semesta yang tak terbatas…yang wujud nyatanya, alam ini selamat dari semua kejahatan kita.

Sudahkah agama membawa kebaikan bagi kita? Harus kita sendiri yang menentukannya secara jujur. Kadang ada orang yang tahu apakah kita sudah beragama dengan baik atau belum..merekalah kaum yang waskito…tapi walau mereka tahu, mereka tak bisa mengubah nasib kita. Kita sendirilah yang harus mengubah keadaan, perjalanan hidup kita.
Dalam kenyataan hidup saat ini, di nusantara yang kita cintai ini, terlihat apa yang disebut dengan peningkatan gairah beragama. Di mana-mana orang menunjukkan semangat untuk kembali pada agama.
Sayang sekali..pada banyak kasus..kebangkitan itu hanya pada tataran artifisial. Orang ternyata baru kembali pada kulit agama…mereka seperti anak-anak di hari lebaran yang bangga ketika mengenakan baju baru tanpa peduli akan makna kembali pada fitrah dan kesucian. Seringkali..hakikat agama itu sendiri tak terlihat…Banyak orang yang ternyata bajunya saja yang sudah baju agama, tetapi dalamnya, lapisan jiwanya..belum diterangi oleh agama.

Gampang sekali mengamati fenomena di atas. Kita bisa melihat orang atau kelompok yang paling merasa beragama dan paling merasa dekat Tuhan…di kalangan mereka agama diteriakkan, Tuhan juga diteriakkan…tapi hasilnya justru orang merasa tak nyaman, merasa tak aman, dan jauh dari kedamaian.

Tanda paling jelas untuk melihat kualitas keberagamaan kita adalah dengan melihat bagaimana respons alam ini. Saat ini, mengiringi bangkitnya semangat keagamaan, ternyata alam malah menjadi tak bersahabat. Bahkan alam ini, bumi pertiwi malah berduka…jagade gonjang ganjing!

Jelas ada yang keliru! Kebaikan pada berbagai dimensinya tidak muncul ketika saat ini orang seperti telah kembali pada agama. Mengapa? Karena sesungguhnya mereka tidak kembali pada hakikat agama sebagai agama ageming aji dan aturan yang mencegah manusia dan semesta ini terperosok pada ketidakteraturan. Agama yang hanya dipahami sebagai identitas budaya, yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang atau kelompok lainnya…Itu jelas hanya akan menciptakan keburukan pada dimensi sosial sekaligus membuat kita terputus hubungan dengan semesta. Apalagi saat ini kita juga bisa melihat banyak pihak mengulang pola yang sudah lama mewarnai Nusantara maupun berbagai belahan dunia: memanipulasi agama, baik sengaja maupun tak sengaja. Ketika agama dimanipulasi, agama dijadikan topeng untuk ambisi, hasrat, dan obsesi rendah. Jelas, pada tataran sosial yang terjadi adalah kekacauan, pada tataran alam yang muncul adalah bencana.

Jika kita mau agama kita memberikan kebaikan yang utuh..maka apa yang dituliskan dalam Serat Wedatama di atas layak jadi pegangan. Kita mulai belajar menjalani agama sebagai petunjuk untuk memasuki alam kesunyian, alam pertemuan dengan Dzat Yang Maha Misteri. Langkah praktisnya adalah menekankan aspek agama sebagai petunjuk tentang perilaku yang baik: agama sebagai pedoman akhlakul karimah ( budi pekerti luhur ). Berbagai ritual agama, ditempatkan pada konteks riyadhoh, pelatihan, agar diri ini bisa terkendalikan, dan kemudian, bisa terbiasa untuk berbuat baik kepada diri sendiri, kepada Yang Mencipta kita, dan kepada sesama ciptaan.

Pada posisi beragama seperti yang diajarkan dalam Serat Wedhatama, arogansi dalam beragama, yang muncul dalam kebiasaan mengaku-ngaku sebagai satu-satunya kelompok yang pantas menjadi kekasih Tuhan, satu-satunya umat yang selamat dan bisa menikmati surga..harus disingkirkan. Itu harus diganti dengan kerendahan hati..dengan sikap diam dalam ketekunan menjalankan laku prihatin. Keberagamaan kita tidak lagi disampaikan lewat kata-kata, tapi dibuktikan melalui perilaku mulia yang membuat orang lain tersenyum bahagia karena keberadaan kita.